SAARAH KURNIAWATI
16612764
2 SA 01
Kesetiakawanan Sosial menurut Islam
“ Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada taqwa…”.Q.S.al Maidah ayat 8.
Mengkaji keadaan dan peta sosial dan
budaya suatu masyarakat adalah penting, karena ia akan menerangkan kepada kita
tata cara, pandangan hidup, dan mengorganisir kehidupan sosialnya yang
mempengaruhi pola, prilaku setiap anggotanya dalam aspek-aspek politik,
ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, seni budaya, adat istiadat, tata susila
(akhlak), agama atau keyakinannya.
Sebagai agama, Islam mengajarkan semua
bentuk perilaku di atas berdasarkan wahyu ilahi yang diejawantahkan Rasulullah
SAW dalam kehidupannya dan menerapkannya pada seluruh sahabat-sahabat nya dan
masyarakat muslim di Madinah, yang seterusnya dilaksanakan oleh para Khulafa’
Rasyidin. Tata cara dan pandangan hidup umat Islam yang menjunjung tinggi
hak-hak hidup perorangan dan masyarakat, berlaku adil, dan menegakkan kebenaran
ditunjukkan Rasulullah SAW berserta sahabat-sahabat sepeninggalnya beliau. Hal
itu sebagaimana firman Allah pada ayat pembuka di atas.
Oleh al Maraghi, ayat di atas
ditafsirkan sebagai suatu bentuk perintah Allah kepada setiap individu muslim
untuk menegakkan kebenaran dan menjadikannya sebagai kebiasaan hidup yang
disertai keikhlasan dalam melakukannya baik dalam hal yang sifatnya keagamaan
maupun segala hal yang bersifat duniawi. Itulah sebabnya kemudian Allah SWT
memberi gelar kepada sahabat-sahabat dan masyarakat muslim ketika itu sebagai
khairu ummah (sebaik-baik umat), karena sikap dan perbiatan mereka yang
menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Salah satu sikap hidup yang berkeadilan
itu ditunjukkan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat adalah kesetiakawanan dan
persaudaraan sesama muslim dan non muslim. Kesetiakawanan dan persaudaraan itu
menjadi sangat penting dan dibutuhkan untuk membangun masyarakat Islam yang
berdasarkan wahyu ilahi. Prinsip-prinsip kesetikawanan menjadi indikasi yang
mencerminkan adanya persamaan dalam arti yang seluas-luasnya bagi konsep
universalitas Islam.
Islam tidak pernah mentolerir
pengikutnya yang bersikap sekterian, individualis, egois, isolatif,
desintegratif dan sebagainya dengan konotasi negatif. Karena Islam mengajarkan
pemeluknya untuk hidup berdampingan dengan seluruh manusia dan makhluk Allah
lainnya di bumi ini dengan sikap saling tolong menolong, toleransi dan bersatu
padu dalam ridha Allah, apalagi terhadap sesama orang-orang beriman.
Dalam surah al Hujarat ayat 10 dengan
tegas Allah berfirman, bahwa orang-orang beriman itu adalah bersaudara satu
sama lain, dan merupakan tugas pula bagi mereka untuk mendamaikan
saudara-saudaranya yang berselisih (baik perselisihan paham, maupun
perselisihan lainnya). Dalam ayat 11 dan 12 surah yang sama, Allah lebih
mempertegas lagi dengan norma-norma akhlak yang mulia dengan menghindarkan diri
dari memperolok-olok orang lain, atau memberi gelar yang buruk, serta
memelihara diri dari buruk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain dan saling
menggunjing (menggelar aib orang lain secara terbuka, sementara aib sendiri
disembunyikan).
Lima deretan norma yang harus dihindari
ini merupakan unsur utama bagi timbulnya perpecahan dan perseteruan umat.
Bahkan kelimanya menjadi awal pemicu yang memporakporandakan kesatuan persatuan
masyarakat yang pluralistis, yang dapat menghancurkan ikatan kebangsaan.
Rasulullah SAW memberikan patron bagi
eksistensi kebersamaan dan kesetiakawanan bagi umat dengan bersabda, bahwa
sesama mulim itu sebagai suatu bangunan yang kokoh, dimana bagian bangunan yang
satu menguatkan bangunan yang lainnya. Dan pada sabda beliau yang lain
sebagaimana diriwayatkan imam Muslim, Nabi Muhammad SAW mengibaratkan umat
Islam itu seperti suatu tubuh, yang bila satu tubuh sakit, maka tubuh lainnya
ikut merasa sakit. Dari perawi yang sama
dikatakan, bahwa seorang muslim itu saudara atas muslim lainnya, tidak
boleh menganiaya, merendahkannya, atau membiarkannya dihina oleh orang lain.
Bahkan haram antara sesama muslim darah (membunuh tanpa hak), hartanya
(merampok, menipu, dan mengkorupsinya), dan kehormatannya (mencemarkan nama
baik).
Sementara kesetiakawanan sosial Islam
bagi masyarakat di luar Islam Rasulullah SAW menjelaskan dengan sabdanya, “ Man
kana yukminu billahi wa al yaum al akhir falyuhsin ila jarihi/Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada
tetangganya ”. HR. Ibnu Majah.
Secara leksikal kata al jaar dalam kamus
al Munjid diberi makna ‘orang yang menempati tempat tinggal berdekatan dengan
orang lain’ (tetangga). Jamaknya ‘jiiraan, jiirah, sebagaimana al Qur’an juga
menetapkan kata ‘wa al jaaridzil qurba, wa al jaaril junubi’ yang dimaknai sebagai tetangga (surah an
Nisak ayat 36).
Al Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa tetangga bagaikan kerabat dekat, karena dekatnya tempat tinggal. Orang
bisa lebih dekat kepada tetangganya ketimbang saudara seketurunannya. Agama
Islam mengajarkan untuk berbuat, dan bergaul dengan baik bersama tetangga,
walupun ia bukan seorang muslim. Al Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW pernah menjenguk anak tetangganya yang sedang sakit, padahal ia
seorang Yahudi. Demikian juga yang ditunjukkan Ibnu Umar ketika ia menyembelih
kambing, lalu berkata kepada sahayanya, ‘ Sudahkah engkau berikan hadiah
(daging kambing) kepada tetangga kita yang beragama Yahudi? Sudahkah ? Karena
aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Mazala Jibril yuushiini bi al jaari
hatta dhzonantu annahu sayuwarritsuh” Jibril senantiasa berwasiat kepada ku
tentang tetangga, hingga aku mengira dia (tetangga) menjadi ahli waris. HR.
imam Ahmad. Demikian juga hadis dari Aisyah, bahwa ia bertanya kepada
Rasulullah SAW, “Ada dua tetangga saya,
kepada yang manakah saya berikan hadiah?” Jawab Nabi SAW, ‘Kepada tetangga yang
paling dekat pintu rumahnya dengan pitu rumah mu’. HR. imam Ahmad dan imam Bukhari.
Dalam shahifah dari Piagam Madinah, ditegaskan, ‘wa inna al jaara kannafs
ghaira mudharrin wa la itsm’/ sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri,
tidak boleh dimudharatkan dan diperlakukan secara jahat. Mereka yang
bertetangga harus saling menghormati, tidak boleh saling menyusahkan dan tidak
boleh saling melakukan perbuatan jahat, apalagi sampai melukai saudaranya
secara fisik. Setiap keluarga/rumah tangga harus memperlakukan tetangganya
seperti ia memperlakukan terhadap dirinya. Setiap keluarga ikut merasakan apa
yang dialami tetangganya dan ikut meringankan beban kesulitan yang mereka
hadapi, sebagaimana firman Allah, “ wayuktsiruna ‘ala amfusihim walau kana
bihim khashashah ”/dan mereka mengtamakan orang-orang Muhajir atas diri mereka
sendiri sekalipun mereka sebenarnya memerlukan apa yang mereka berikan.
Subhanallah! Dari sebab perlakuan itu
akan melahirkan keharmonisan hubungan dan pergaulan dalam hidup bertetangga
yang menjadikan hidup dalam kesetiakawanan sejati dan pada gilirannya menjadi
sendi bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam negara.
Mata rantai norma dan pilar etika yang
menjadi tiang pancang hidup dalam kesetiakawanan sosial dalam Islam sangat
jelas dan sebenarnya tidak membebani kehidupan individu, kecuali bagi
mereka-mereka (umat) yang berhati iri, dengki, kedekut, merasa memiliki 4
paling (paling pintar, paling hebat, paling terhormat, paling bersih) dan penyakit-penyakit
hati lainnya.
Liberalisme dan Kapitalisme telah
meracuni manusia moderen yang tidak lagi berorientasi pada dunia nilai, etika
dan agama. Mereka merasa bebas dan tidak perlu terikat oleh norma-norma agama,
dan etika. Bagi mereka dunia ini seperti medan pergulatan hidup. Maka
konsekwensinya adalah saling berebut. Siapa yang paling kuat, paling banyak
uang, maka merekalah yang menang dan dianggap sukses atau survival of the
fittest. Namun akibat dari semua itu, kehidupan manusia tidak lagi menunjukkan
adanya rasa kebersamaan dan rasa kesetiakawanan sosial, Yang tumbuh dari
pergumulan itu adalah terciptanya rasa iri, dengki yang melahirkan dendam
kepada mereka yang dianggap berhasil.
Apa yang kita lihat dalam kesaharian
kehidupan berbangsa dan beragama di negara ini yang bisa kita saksikan melalui media,
baik melalui internet, TV dan media cetak, tidak lain adalah cerminan dari
pupusnya rasa kesetikawanan dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama tidak lagi menuujukkan nilai-nilai dalam keberagamaan yang
dianutnya.
Hari Kesetiakawanan
Nasional yang kita peringati bulan ini yang pada Senin kemarin dibuka oleh
presiden, seharusnya bukan lagi hanya sekadar memperingati yang sifatnya
seremonial belaka, tetapi ia wajib diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari,
sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Hidup dalam kesetiakawanan dalam Islam bukan sekedar ide, tapi ia nyata, dan
wajib dilaksanakan oleh setiap individu muslim. Wallahu a’lam.
REFERENSI :
No comments:
Post a Comment