KESAKSIAN TAHUN 1967
Dunia
yang akan kita bina adalah dunia baja
Kaca
dan tambang-tambang yang menderu,
Bumi
bakal tidak perawan lagi,
Tergarap
dan terbuka
Sebagai
lonte yang merdeka.
Mimpi
yang kita kejar, mimpi platina berkilatan.
Dunia
yang kita injak, dunia kemelaratan.
Keadaan
yang menyekap kita, rahang srigala yang menganga
Nasib
kita melayang seperti awan,
Menantang
dan menertawakan kita,
Menjadi
kabut dalam tidur malam,
Menjadi
surya dalam kerja siangnya,
Kita
akan mati dalam teka-teki nasib ini,
Dengan
tangan-tangan yang angkuh dan terkepal.
Tangan-tangan
yang memberontak dan bekerja
Tangan
yang mengoyak sampul keramat
Dan
membuka lipatan surat suci
Yang
tulisannya ruwet tak bisa dibaca
Karya:
WS. Rendra
Dalam
puisi diatas Rendra ingin memberikan kesaksian tentang situasi sosial dan
politik di Indonesia pada tahun 1967. Menurut pendekatan mimesis, puisi diatas
adalah sebuah penggambaran dunia dan kehidupan manusia khusunya di Indonesia walaupun
Indonesia bukan Negara Komunis. Namun, mungkin juga Rendra berimajinasi karena
nilai kebenaran atau kebohongan pada kalimat tersebut sudah dimemesiskan
menjadi puisi sebab hal yang paling utama dalam puisi adalah kejiwaan
pengarang(Ekspresif) untuk mempengaruhi perasaan pembaca.
Bila
diukur dalam penilaian karya sastra puisi diatas memiliki beberapa penilaian:
1.
Intelligibility,
karena bahasa yang digunakan Rendra tidak mudah dipahami. Seperti,“Kaca dan tambang-tambang yang menderu”kenapa
kaca dan tambang harus menderu? Apakah kaca dan tambang-tambang dapat mengeluarkan
suara keras(kecuali jika kaca terjatuh dan terpecah-belah)?
2.
Kebenaran(truth),
bahasa diatas terbebas dari benar dan salah. Seperti,”Bumi bakal tidak lagi perawan” Kenapa bumi mempunyai keperawanan?
Sejak kapan bumi perawan?dan Kapan bumi bakal tidak perawan?
3.
Familiarity,
karena Rendra membahas sesuatu yang sudah dikenalnya dalam kehidupan
sehari-hari seperti,“Dunia yang kita
injak, dunia kemelaratan, Keadaan yang menyekap kita, rahang srigala yang
menganga” sebab pada tahun 1967 gejolak politik di Indonesia yang tak
menentu dan transisi orde lama ke orde baru.
4.
Moral, Rendra
ingin menilai puisi diatas berkaitan dengan nilai kemanusian. Seperti “Nasib kita melayang seperti awan”, “Kita
akan mati dalam teka-teki nasib ini” maksudnya nasib dengan kehidupan pada
tahun 1967 sama-sama tidak ada kepastian dan hanya kematian yang sudah pasti
dalam kehidupan, yang lainnya hanya sebuah teka-teki kehidupan semata.
Kritikus:
SKI
No comments:
Post a Comment