Share and Enjoy it...

Tuesday, October 28, 2014

Manusia dan Kebudayaan Indonesia: KONSTRUKSI & REPRODUKSI KEBUDAYAAN

KONSTRUKSI & REPRODUKSI KEBUDAYAAN

Semboyan “berbeda-beda tetapi satu” (bhineka tunggal ika) merupakan semboyan bangsa Indonesia. Namun kini semboyan itu hanya menyisakan cerita di masa lalu. Dengan beragamnya kebudayaan di Indonesia menyebabkan banyaknya perbedaan pada masing- masing adat. Banyaknya perbedaan di Indonesia seperti berbagai bahasa, agama, ilmu pengetahuan, kekerabatan, sistem ekonomi, sistem sosial dll menyebabkan akibat- akibat buruk. Seperti contoh lepasnya Timor Timur menjadi negara merdeka. Hal itu salah satu contoh yang paling jelas tentang kegagalan cita- cita Indonesia yang merupakan negara bhineka tunggal ika. Selain itu, masih banyak masalah serupa yang dihadapi oleh Indonesia yaitu masalah Riau, Aceh, dan Papua yang menginginkan kemerdekaannya. Hal itu menyebabkan pemerintah melakukan cara dengan menasionalisasikan bangsa Indonesia agar menjadi negara satu kesatuan Indonesia. Namun, dengan sikap berlebihan pemerintah menyebabkan kurang bebasnya suatu adat berekspresi sehingga adat serta kebudayaan tersebut tidak mendapatkan tempat yang pantas. Padahal keanekaragaman budaya yang berada di Indonesia yang sangat banyak itu tetap harus dilestarikan bukan berarti dihilangkan apalagi dilupakan. Hal yang demikian ini juga salah satu kesalahan sejarah dalam pengelolaan keragaman budaya. Jadi, Istilah bhineka tunggal ika tidak hanya menunjukkan adanya suatu tujuan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang menyatu, tetapi menyembunyikan sikap politik yang sangat tegas untuk menegakkan kesatuan dan persatuan secara total tanpa dapat digugat.

Manajemen Keragaman Budaya di Indonesia
            Konsep “Bangsa yang satu” yang dipopulerkan sejak Soekarno, lalu dipraktikkan lagi pada masa Soeharto melalui politik asas tunggal. Prinsip tersebut menunjukan suatu proses penundukan bagi masyarakat, yaitu hubungan kekuasaan antara negara dan rakyat. Perbedaan-perbedaan, sebagai basis kekuatan sosial, hal itu bukan saja harus dihilangkan tetapi perlu dilawan sebagai suatu kesalahan. Dengan bangsa yang beraneka ragam perlu adanya penataan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk menyamakan persepsi orang maupun kelompok sebagai sebuah bangsa yang satu.
            Keragaman etnis maupun budaya telah dikesampingkan karena dinilai menjadi faktor integrasi dan penghambatan pembangunan, seperti kesulitan berkomunikasi yang dihadapi dalam berbagai proses sosial dan politik. Proses serupa terjadi pada suku-suku lain yang tersebar di berbagai tempat yang dianggap masih terasing, seperti Kubu, Badui, Sakai, dan lain-lain.
            Beberapa kecenderungan dapat ditemukan dalam politik penataan etnis. Bukan hal aneh lagi bahwa etnis mayoritas mendapatkan kebebasan- kebebasan  dalam berbagai bentuk sehingga etnis minoritas mengalami pergeseran. Seperti orang Jawa  telah mendapatkan kebebasan pemerintah dalam program transmigrasi.
Contoh lain dapat ditemukan pada kebijakan yang terkait dengan bahasa, yaitu ketika bahasa nasional diberlakukan maka berbagai bahasa lokal mengalami nasib yang parah. Ragam bahasa tersebut bukan hanya sebagai alat komunikasi, tapi dalam ragam bahasa tersebut terdapat sopan santun dan tata kelakuan yang berbeda- beda. Namun, bahasa yang kaya akan ekspresi budaya tersebut mengalami kemunduran dan sebagian bahasa mulai kehilangan penuturnya karena pengaruh bahasa Indonesia yang begitu kuat.
Penataan keagamaan merupakan contoh lain yang penting untuk memperlihatkan bagaimana visi pemerintah tentang pluralisme budaya. Kuatnya pengaruh agama dalam hal ini telah menghancurkan berbagai jenis kebudayaan daerah. Konflik yang bersumber pada agama ini terjadi pada berbagai tingkat, baik di dalam agama itu sendiri maupun antara satu agama dengan agama lain. Berbagai jenis tarian dari berbagai suku bangsa marginal (terutama Cina) telah dipasung, karena pada jaman Orde Lama semua yang berhubungan dengan Konghucu dilarang keras. Namun pada pemerintahan Abdurahman wahid (Gus Dur) telah dibebaskan bagi warga Cina memeluk agama Konghucu.

Masalah Ruang Politik bagi Keragaman Budaya
            Proses nasionalisasi yang terjadi telah menyebabkan pengabaian terhadap kebudayaan yang beragam. Dengan cara tersebut pemerintah bukan saja gagal menemukan kebudayaan nasional, tapi juga telah melahirkan perlawanan yang besar dari berbagai daerah. Seperti konflik yang terjadi di berbagai tempat sebenarnya merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap kebijakan pusat. Dari analisis tentang beragamnya etnis, bahasa, agama, dan pranata sosial, maka terdapat tiga proses penting yang telah terjadi di Indonesia.
            Pertama, pelanggaran atas status kebudayaan yang beragam tersebut yang terjadi  sehingga melahirkan berbagai persoalan yang menjauhkan Indonesia dari sifat bhineka tunggal ika. Hal tersebut disebabkan oleh ideologi pembangunan yang mementingan keseragaman yang dianggap akan berlangsung baik.
            Kedua, politik uniformitas yang bertolakbelakang dari keanekaragaman budaya karena penyeragaman terjadi pada skala yang sangat luas dan tingkatan yang bervariasi. Proses standarisasi yang dilakukan dalam kehidupan sosial politik telah melampaui batas- batas toleransi karena hal itu bukan lagi proses penyadaran etnis sebagai bagian dari kesatuan, tapi telah melanggar keberadaan dan identitas kultural etnis. Hal tersebut juga karena pemerintah cnederung menutup ruang bagi kebebasan budaya local untuk berkembang sehingga nyaris punah. Krisis identitas dan keterasingan budaya inilah menimbulkan frustasi mendalam bagi penduduk lokal sehingga dapat berdampak pada pertikaian etnis.
            Ketiga, kegagalan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antar- kelompok dalam masyarakat. Dengan adanya perbedaan posisi ekonomi dan politik satu etnis dengan etnis lainnya,  maka muncullah masalah yang melahirkan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya. Etnis pendatang seringkali menjadi dominan dalam penguasaan sumber daya  daripada etnis setempat sehingga menyebabkan dominasi suatu etnis. Hal yang demikian akan menjadi dua hal yang berbahaya, yaitu ketika justru agen sosial, Khususnya pemerintah memberikan kebebasan pada kelompok etnis dominan dan kesadaran etnis setempat akan wilayahnya yang mulai dijajah. Hal tersebut tentu akan mengakibatkan kesadaran kelompok dan identitas yang berlebihan  dan mulai memperhitungan batas- batas etnisitasnya. Seperti contoh, penolakan masyarakat Dayak terhadap Madura sebagai usaha mengembalikan cultural boundary pada batas fisik dan geografis yang jelas. Pertikaian tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan budaya dua etnis itu, tapi karena suatu system sosial politik yang tidak mampu menjamin keseimbangan kekuasaan ekonomi dan politik antaretnis.
Jadi, dari tiga faktor di atas dijelaskan bahwa konflik- konflik yang selama ini terjadi di Indonesia bukan hanya  persoalan perbedaan budaya etnis saja, tetapi sudah lebih mendalam sebagai kesalahan berbagai pihak dalam mengelola perbedaan dan konflik itu sendiri. Proses tersebut jikalau terjadi berkepanjangan maka akan menyebabkan konflik yang berlarut- larut. Seperi halnya pertikaian etnis di Yugoslavia hingga menghancurkan kesatuan dan akhirnya terpecah- belah pada tahun 1991.

Jalan Panjang Penataan Persatuan dalam Keragaman Budaya
            Seiring berjalannya waktu Indonesia  mengalami perubahan selama setengah abad lamanua yang mana sesungguhnya telah membawa masyarakat ke arah yang penuh fragmentasi dan kohesi sekaligus. Hal tersebut dapat kita lihat pada kaum Cina yang melakukan ekspansi  dagang atau  pedagang- pedagang Minang yang berkembang di berbagai tempat sehingga mengakibatkan mobilitas sosial. Profesi mempertemukan perbedaan- perbedaan yang memungkinkan kohesi sosial terbentuk. Selain itu, pertemuan etnis bukan hanya terjadi karena kegiatan ekonomi yang sama, melainkan pada terbentuknya permukiman yang berisi anggota dari latar belakang etnis, bahasa, dan agama yang beragam.
Jadi, demi mewujudkan cita- cita persatuan Parsudi Suparlan mengatakan bahwa bhineka tunggal ika itu hanya dapat berlangsung dengan empat syarat, yakni harus didasarkan pada pembentukan masyarakan sipil, adanya demokrasi sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memperlakukan hak satu dengan yang lain secara sama, dan harus ada penegakan hokum  untuk menjamin keteraturan. Namun pada dasarnya syarat- syarat di atas sungguh berat untuk dilaksanakan, karena hal- hal di atas telah mengalami kerusakan yang paling parah di negeri ini. kemungkinan perlu menunggu waktu yang cukup lama untuk  memperbaiki semuanya.

TITIK TEMU KEBUDAYAAN DALAM HUBUNGAN SUKU BANGSA:
MENUJU SUATU KAJIAN RUANG BUDAYA
Konflik sosial antar etnis menjadi suatu fenomena yang terjadi di berbagai tempat dan melibatkan berbagai etnis. Contohnya, konflik terjadi di Kalimantan Barat yang melibatkan etnis Dayak dan Madura, di Medan yang melibatlkan Aceh, Batak dan Minang, di Bali yang melibatkan orang Ras Madura dan Jawa.Perbedaan merupakan fenomena masa lalu tidak hanya mempengaruhi masa kini, tetapi masa lalu secara berkesinambungan dikonstruksikan kembali pada masa kini. Konflik etnis terjadi menegaskan bahwa etnis tidaklah hadir dalam suatu ruang kosong, tetapi hadir dalam suatu pembatasan sosial. Menurut Stanfield, etnis melekat pada kelas, gender, usia, wilayah, dan agama serta sumber daya(ekonomi). Faktor etnis tidak hanya bersinggungan dengan faktor-faktor lain, tetapi cenderung berdekatan satu dengan yang lain sehingga masalah etnisitas melibatkan serangkaian hubungan dengan pembatasan sosial yang berbeda. Fakta lain harus dipertimbangkan adalah keberhasilan setiap etnis untuk hidup berdampingan dengan etnis yang lainm tanpa memungkiri potensi konflik yang ada. Berbagai etnis di Indonesia tersebar dalam wilayah-wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik(physical boundary) yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai “pewaris” tradisi dan wilayah. Dalam batas-batas fisik yang diwariskan setiap suku menjadi tuan rumah yang kesadaran terhadap status akan mempengaruhi tanggapan dari orang lain. Di sisi lain, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan mempunyai sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari.

Masalah Keanekaragaman Sukubangsa
Keanekaragaman suku bangsa sebagai suatu kondisi dasar dalam masyarakat plural memiliki implikasi sosial yang luas. Berbagai basis akomodasi kultural perlu dianalisis keberadaannya dan efektifitasnya dalam berbagai lingkungan sosial. Usaha yang dapat dimulai adalah dengan cara melihat kembali bagaimana konstruksi sosial dari etnisitas itu sendiri.
            Keberadaan suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri. Etnis pendatang biasanya akan mendapatkan posisi yang relatif lemah. Namun etnis tersebut memiliki status yang relatif seimbang dengan etnis lain pada saat mereka sama-sama berstatus sebagai pendatang dalam lingkungan sosial yang baru. Dalam proses interaksi antar etnis, selain terjadi proses kotekstualisasi dengan cara mengurangi ciri-ciri yang membedakan satu dengan yang lain untuk tujuan integrasi atau pembauran, juga terjadi proses pelestarian dan penegasan perbedaan itu. Ciri-ciri pembeda lebih merupakan alat di dalam eksklusi sosial. Atribut tertentu digunakan untuk menegaskan perbedaan atau untuk pengingkaran sosial (social exclusion) atas suatu kesempatan.
            Antar etnis biasanya memiliki titik pertemuan untuk mempertukarkan nilai agar mencapai kesepakatan. Hal tersebut merupakan wilayah persinggungan yang memungkinkan suatu komunikasi dan keterlibatan sosial berlangsung.

Konstruksi Sosial Budaya kesukubangsaan
            Berbagai etnis tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain yang telah saling membagi wilayah. Kesukubangsaan menjadi sesuatu yang ditegaskan dan dipertukarkan dalam serangkaian interaksi. Itu merupakan potensi yang membentuk identitas dan ciri-ciri pembeda satu dengan lainnya, dari warna kulit, postur tubuh, bahasa, cara bicara, persepsi hingga gaya hidup. Faktor di dalam konflik sosial tidak hanya sebagai “ciri pembeda” tetapi sebagai faktor “pemisah”.
            Untuk melihat proses interaksi antaretnis dalam suatu pengaturan sosial tertentu ada tiga hal penting yang dapat diperhatikan.
Pertama, artikulasi keberadaan suatu etnis. Ekspresi etnisitas bagi suatu etnis merupakan keberlanjutan masa lalu yang merupakan bentuk politik emansipatoris dan penegasan autensitas etnis (Appadurai, 1995). Politis emansipatoris merupakan suatu strategi etnis untuk menghadirkan kesukubangsaannya dalam suatu pengaturan sosial yang cenderung menghilangkan batas-batas etnis.
Kedua, dalam suatu ruang publik tertentu berbagai etnis belajar berkomunikasi dengan cara lebih dapat diterima secara umum di suatu sisi, dan setiap etnis pun di lain sisi belajar untuk menerima perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lain (Green, 1995). Interaksi semacam ini juga selain akan menghilangkan perbedaan-perbedaan atau terjadinya penerimaan terhadap ciri-ciri yang berbeda, juga akan menghasilkan pengayaan-pengayaan dalam berbagai bentuk. Ciri-ciri yang berbeda dianggap sebagai variasi.
Ketiga, simbol-simbol komunikasi antar etnis yang merupakan kunci dalam proses pembauran. Proses pemaknaan dari simbol dapat berkembang sedemikian rupa sehingga suatu simbol dapat saja dikonsepsikan secara berbeda pada generasi yang berbeda. Makna-makna simnolis diberikan berdasarkan intepretasi. Simnol-simbol belum tentu dapat dimaknai oleh etnis yang lain dan bisa dianggap menyimpang. Suatu simbol memang secara prinsipil memiliki makna acuan yang berbeda sehingga konflik sosial mungkin saja terjadi kemudian disalah artikan. Pemahaman tentang kebudayaan masing-masing etnis sangat diperlukan.
Ketiga aspek tersebut merupakan wilayah cakupan penting dalam menjelaskan proses pembauran yang terjadi dalam lingkungan sosial tertentu. Ciri-ciri sebuah lingkungan menentukan pola komunikasi. Lingkungan sosial memberi pengaruh yang besar untuk membangun komunikasi budaya dalam proses interaksi antaretnis.

Penutup : Menuju Suatu Kajian Komunitas Budaya
            Mengingat kategori keetnisan cenderung bersinggungan dengan kategori status ekonomi sebaiknya mempertimbangkan lokasi pemukiman berdasarkan golongan ekonomi penghuni. Seandainya satu pemukiman tertentu dipilih tanpa perbandingan dengan beberapa lingkungan permukiman maka perbedaan dalam satu pemukiman itu harus diperhatikan, khususnya untuk kelompok atau etnis yang dilihat dari tipe rumah yang ada.
            Untuk mengungkapkan persoalan keanekaragaman tersebut, ada tiga strategi yang perlu dipertimbangan. Pertama, perlu ditemukan titik-titik interaksi antaretnis yang meliputi tempat, kgiatan, dan simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Kedua, perlu membagikan sistem pengetahuan mereka tentang berbagai isu yang melibatkan etnis lain. Khususnya untuk menguji apakah ada persamaan konseptualisasi antar orang sehingga interaksi antaretnis dapat dipahami dengan baik. Ketiga, perlu ditemukan bentuk-bentuk kesepakatan tentang bagaimana selama ini komunikasi antaretnis terjadi.

            Ketiga aspek yang dikaji tersebut akan memperjelas pendekatan yang digunakan dalam kajian-kajian tentang kesukubangsaan.

No comments:

Post a Comment