Point Pertama
Judul buku : Soe Hok Gie “Di Bawah Lentera Merah”
Penulis :
Soe Hok Gie
Penerbit :
Yayasan Benteng Pustaka
Tahun Terbit : 1999
Kota terbit : D.I Yogyakarta
Jumlah Halaman : 68 halaman
Biografi Penulis :
Soe
Hok Gie lahir di kota Jakarta pada 17 Desember 1942. Soe Hok Gie adalah seorang
aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari
zaman presiden Soekarno dan Soeharto. Dia juga mahasiswa Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra di Universitas Indonesia tahun 1962-1969. Soe adalah seorang
etnis Tionghoa, Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari
provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan. Dia keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Arief
Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga
cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia. Setelah menghabiskan
tahun-tahun terakhirnya di SMA Kolese Kanisius, Soe kuliah di Universitas
Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di
universitas, dia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Dia selama
kurun waktu sebagai mahasiswa pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan
PKI. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang
dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan,
Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Soe Hok Gie juga seorang yang hidupnya
sangat mencintai alam, Soe seperti dikutip Walt Whitman dalam buku hariannya:
"Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk
tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi."
Pada tahun 1965, Soe membantu mendirikan
Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Soe pernah menulis
dalam buku hariannya:"Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang
tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang
mati muda". Pernyataan Soe serupa dengan komentar Friedrich Nietzsche,
kepada seorang filsuf Yunani. Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983,
dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya
terhadap aksi demokrasi. Soe dalam tesis universitasnya juga diterbitkan,
dengan judul Di Bawah Lantera Merah. Gie dikenal sebagai penulis produktif di
beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa
Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga
dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah
dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga
skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan
Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya
yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan
judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Soe Hok Gie sangat menikmati kegiatan hiking, dan meninggal
karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung berapi Semeru sehari sebelum
ulang tahun(meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun). Dia
meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat
yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat. Soe pernah
menulis dalam buku hariannya: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ...
nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka
yang mati muda."
Poin Kedua
Poin Kedua
SAARAH KURNIAWATI
16612764
3 SA 01
Sastra
Sastra inggris
JURNALISTIK 2
IBU NURIYATI SAMATAN& IBU RINI aSTUTI
No comments:
Post a Comment