Share and Enjoy it...

Sunday, March 15, 2015

Resensi Novel Poin Pertama

Point Pertama
Judul buku                  : Soe Hok Gie “Di Bawah Lentera Merah”
Penulis                         : Soe Hok Gie
Penerbit                       : Yayasan Benteng Pustaka
Tahun Terbit                : 1999
Kota terbit                   : D.I Yogyakarta
Jumlah Halaman          : 68 halaman
Biografi Penulis          :
            Soe Hok Gie lahir di kota Jakarta pada 17 Desember 1942. Soe Hok Gie adalah seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari zaman presiden Soekarno dan Soeharto. Dia juga mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra di Universitas Indonesia tahun 1962-1969. Soe adalah seorang etnis Tionghoa, Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Arief Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia. Setelah menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di SMA Kolese Kanisius, Soe kuliah di Universitas Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di universitas, dia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Dia selama kurun waktu sebagai mahasiswa pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Soe Hok Gie juga seorang yang hidupnya sangat mencintai alam, Soe seperti dikutip Walt Whitman dalam buku hariannya: "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi."


Pada tahun 1965, Soe membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Soe pernah menulis dalam buku hariannya:"Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda". Pernyataan Soe serupa dengan komentar Friedrich Nietzsche, kepada seorang filsuf Yunani. Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Soe dalam tesis universitasnya juga diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah. Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Soe Hok Gie sangat  menikmati kegiatan hiking, dan meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung berapi Semeru sehari sebelum ulang tahun(meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun). Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat. Soe pernah menulis dalam buku hariannya: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Poin Kedua


SAARAH KURNIAWATI
16612764
3 SA 01
Sastra
Sastra inggris
JURNALISTIK 2
IBU NURIYATI SAMATAN& IBU RINI aSTUTI

No comments:

Post a Comment