Sastra memberikan
pengalaman dan mengarahkan dirinya kepada perasaan, sedangkan kritik sastra
cenderung untuk memberikan dan memenuhi kebutuhan pikiran atau intelektual.
Benar tidak? Sastra identik seperti perempuan, sedangkan kritik sastra sama
seperti laki-laki. Tapi, bukankah perempuan biasanya yang suka mengkritik!
Renungkanlha itu!!! Bagaimanapun perbedaan antara sastra dan kritik sastra
dapat dikatakan sebagai perbedaan yang berkaitan karena pikiran dan perasaan
dapat membentuk sesuatu yang bermanfaat seperti, perasaan dapat membentuk karya
sastra dan pikiran membentuk kritik sastra.
Sastra adalah karya
seni. Tujuannya yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia keadaannya,
untuk memberi makna pada eksitensinya, serta untuk membuka jalan ke kebenarnya.
Yang membedakannya sastra dengan karya seni lainnya ialah aspek bahasa.
Kritik sastra
merupakan suatu bentuk karya sastra yang mengandalkan adanya norma dan nilai.
Norma dan nilai adalah prinsip atau konsep mengenai apa yang dianggap baik yang
hendak dituju. Nilai ialah sesuatu yang disetujui atau ditolak, sedangkan norma
ialah ukuran yang mengatur cara mencapai nilai. Tanpa nilai dan norma kritik
tak dapat dilakukan. Seorang pengkritik sastra sebelum melakukan kritik sudah
mempunyai norma atau nilai.
Pekerjaan mengkritik
bagi kritikus harus memahami apa yang terkandung di dalamnya, ia menganalisis
setiap unsur dan aspek, bahasa dan teknik penyajian dengan secermat dan sehalus
mungkin untuk mendapatkan pengertian dan membentuk penafsiran.
Pendekatan merupakan
kerangka berpikir dalam melakukan kritik, yang akhirnya akan membentuk langkah
kerja selanjutnya(teknik atau metode).
Kerumitan memberi batasan tentang sastra menurut Prof.
Dr. A. Teeuw(1978) disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
1. Banyaknya jenis
kesustraaan sehingga susah mencari ciri-ciri khas yag terdapat dalam semua
ragam sastra.
2. Ciri-ciri khas
sastra tidak stabil, sering berubah-ubah, tidak identik dengan segala masa dan
segala tempat.
3. Batas antara
sastra dan bukan sastra tidak mutlak.
4. Dalam sastra
modern, banyak pengarang dengan sengaja batas antara sastra dan bukan sastra
dihilangkan, batas antara kategori, jenis sastra, dll diubah.
5. Dalam masyarakat
tradisional, sastra selalu berfungsi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih
luas, tidak seperti masyarakat modern yang beranggapan sastra memiliki otonomi.
6. Menurut
pendekatan, identifikasi sastra berbeda seperti:
a. struktur karya
sastra,
b. makna/pesan karya
sastra,
c. ekspresi
pengarang, dan
d. imbauan, impresi,
resepsi pembaca.
Beberapa pendekatan
kritik sastra:
1. Pendekatan
Mimesis,
merupakan
pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Menurut Aristoteles, mimesis
lebih tinggi dari kenyataan, memberi kebenaran yang lebih umum, kebenaran yang
umumn kebenaran yang universal. Di Rusia, pendekatan ini memengaruhi kehidupan
dan menjadi ajaran resmi serta mengakui sastra mengemukakan realisme sosialis.
Di Indonesia sendiri, pendekatan ini diwakili oleh LEKRA(Lembaga Kebudayaan
Rakyat) pada permulaan tahun 1950 sampai tahun 1965. Pendekatan mimesis banyak
diterapkan di negara-negara komunis.
2. Pendekatan
Pragmatik(Reseptif),
merupakan pendekatan
yang memiliki prinsip sastra yang baik untuk memberikan kesenangan dan faedah
bagi pembacanya. Dengan kata lain, pendekatan ini fokus kepada pembaca.
Pendekatan ini menggabungkan antara unsur penglipur lara dengan unsur didaktis.
Di Indonesia, sejak dulu menganggapa aspek didaktis dan unsur keindahan
merupakan dua unsur yang penting.
3. Pendekatan
Ekspresif,
pendekatan ini
memfokuskan ke jiwa pegarang terhadap karya sastranya. Kemampuan pengarang
menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran
keberhasilan. Yang menjadi tanah garapan para pengkritik adalah kejiwaan
pengarang. Di Indonesia, pendekatan ini dikenal dengan istilah kritik Ganzheit.
FYI: Kritik Ganzheit awalnya digunakan di musik.
4. Pendekatan
Objektif(Struktural),
pendekatan ini
terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Pendekatan ini memandang dan menelaah
sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur,
latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan
isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Di
Indonesia, melalui pendekatan struktural tercemin pada kelomok Rawamangun.
5. Pendekatan
Semiotik,
merupakan penelaahan
sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, tanpa ada yang
dianggap tidak penting, serta melihat suatu karya sastra sebagai suatu yang
terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri, sehingga sistem yang ada di
luarnya tidak berlaku terhadapnya. Dalam semiotik, segala unsur yang ada dalam
suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Maka dari itu,
karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem.
6. Pendekatan
Sosiologis(The Sociological Approach),
pendekatan ini
bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan
masyarakat. Pendekatan ini lebih fokus memperhatikan segi-segi sosial
kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan
segi-segi yang menunjang dan pengembangan tata kehidupan.
7. Pendekatan
Psikologis,
pendekataan
penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam
suatu karya sastra.
8. Pendekatan Moral,
pendekatan yang
bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu
medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat.
Moral diartikan sebagai suatu norma.
Semi, Atar. 2013. kritik
sastra. hlm 37-39. Bandung: Angkasa Raya.
No comments:
Post a Comment